Jumat, 28 September 2012

Waktu

Oleh Amandus Klau 

Suatu pagi yang biasa… 
aku terbangun dengan sepenggal mimpi; dengan sejumput kisah dari mula kembaraku di negeri bawah sadar, yang tak pernah kutahu entah kapan kan berlanjut… kecuali merindukan malam sepanjang siang. 

Pagiku beranjak… 
kualirkan mimpi bersama guyuran air dari tubuh
melepasnya kembali menembus rahim ketakpastian...
sebab aku, seperti kata para bijak bestari... 
harus berpaling kepada Yang Pasti; Kenyataan dari segala kenyataan... 
dan itulah doa...itulah waktu 

Pagiku membubung... 
rindu dan mimpiku menjelma kidung 
terlantun bahana bersama seribu untai kata doa 
dan ini, katanya, untuk kemuliaan Yang Mahaagung; Ada dari segala ada 

Tapi, di sini...di antara kerubutan sejumlah penyembah takzim 
Dia Yang Mahaagung menjadi serentak mahabesar dan terkecil, 
mahakuat dan paling rapuh...
Ia menjelma menjadi selempeng tipis roti makanan manusia
dan aku mafhum, begitulah Sang Ada dalam waktu manusia; dalam sejarah. 
Ia menjadi kecil untuk kemuliaan ciptaan, bahkan rela ‘menjadi tak ada’ untuk kehidupan yang lain... 
Inilah Tuhan, inilah waktu. Ia serentak kekal dan tak kekal, ada dan tak ada. 

Pagiku menerobos batas rasionalitas... 
dan aku takjub serentak heran, paham serentak bingung...
lantas, kutinggalkan altar kurban itu dengan sejumlah tanya: apa itu kerinduan, apa itu mimpi, apa itu doa, apa itu penjelmaan? dan apa sesungguhnya sang waktu? 

*** 

“Waktu adalah musuh kefanaan”, demikian bisik sekembang mawar di taman sebelah rumah doaku. 
Tapi, aku cuma tertegun menyimak, mencoba menyelami rahasia sang waktu dan kehidupan. 
“Lihatlah aku, wahai perenung”, pinta kembang mawar itu lagi. 
“Tak ada yang bertahan dalam waktu...tak ada yang bakal seabadi sang waktu. 
Bahkan, bertambahnya waktu adalah kutukan bagi keindahan,” kata kembang mawar itu lirih, sesaat sebelum membiarkan kelopak-kelopak keringnya dihempaskan angin entah ke mana. 
“Tapi, kamu masih punya cinta” bisiknya lagi sebelum aku berlalu pergi. 

*** 
Kususuri jalan setapak batu di tepi taman, melangkahi kembang kering dan dedaunan kemuning yang luruh tinggalkan batang dan ranting,
setelah semalam diterpa angin musim gugur... 
dan aku teringat kata kembang mawar itu lagi, “Tak akan ada yang bertahan dalam waktu, tak akan ada yang bakal seabadi sang waktu”. 

Aku berlalu dari bunga dan taman, beranjak pergi dengan satu rahasia terakhir...”cinta”. 
Ya “cinta”, demikian kata kembang mawar itu. 
“Meski tak akan ada yang bertahan dalam waktu, tapi kamu masih punya cinta”, katanya. 

Tapi, apa maksudnya? 
Kutemui sahabat-sahabatku satu demi satu, dan kucoba tanyakan arti dari rahasia ini. Namun, tak satu pun sanggup mejawabnya. Aku lalu bertanya kepada seorang penyair, dan ia memberi aku jawaban ini: “Entahkah waktu atau cinta, aku tak begitu tahu. Tapi aku tahu siapa aku. Aku tak terlahir sebagai penyair, tapi aku mencintai pekerjaan ini. Aku lalu menekuninya, dan sekarang kau dan aku temukan diriku sebagai penyair. Dan sekarang aku bertanya kepadamu anak muda, apakah kau sangka apa yang kumiliki ini adalah keniscayaan dan hadiah dari sang waktu? 
Tidak! Sekali lagi kukatakan tidak! Waktu tak pernah mengubah apa pun. Hanya cinta yang bisa membuat kita berubah dalam waktu. 
Dan soal keabadian...itu bukan perkara manusia. Sebab tugas manusia adalah memaknai keberadaannya. 
Kembalilah dan tanyakan pada mawarmu, dan ia akan mengatakan ini: “Hal yang paling membahagiakan dalam hidupku adalah pernah menghasilkan kembang-kembang yang indah, yang semput mebuat bumi tersenyum, bukannya bisa bertahan mekar sepanjang waktu”.
***

1 komentar:

  1. Luar Biasa!
    Saya tidak heran.
    Mantap kawan.
    Sukses selalu.

    BalasHapus