Oleh Amandus Klau
Lakaama adalah seorang lelaki, yang pernah hidup pada semua masa,
juga pada semua tempat…
yang pernah ada dan tak ada,
yang pernah binasa serentak mengabadi …
yang dapat dipahami sekaligus tidak.
Tapi, ia seorang anak manusia…
dan begitulah ia adanya…
nyata sekaligus
misterius
kuat sekaligus lemah
bijak sekaligus dungu
dan tak seorang pun sungguh mengenalnya, termasuk dirinya sendiri.
***
Aku sendiri pertama kali mengenalnya dari sebuah
cerita musim hujan…
Cerita pelepas rasa bosan dari sang kakek, saat ia tak bisa meladang.
Cerita dari suatu masa sulit, saat alam membuat kekekku hanya bisa
menjadi seorang pendongeng.
***
“Lakaama, seorang lelaki paruh baya”, begitu kakekku
memulai ceritanya. “Dan seperti para lelaki kebanyakan, ia adalah suami dari
seorang istri; Lakaina, dan ayah dari beberapa orang anak. Aku tak tahu persis
berapa jumlah anaknya. Tapi, sudah pasti ada yang bernama Laka”, lanjut
kakekku.
“Sebab, anak-anak adalah turunan orangtua dan akan
mewarisi segala sesuatu dari orangtua, termasuk nama”, kata kekekku lagi.
“Aku
dan namaku adalah warisan orangtua”. Demikian aku mencoba membatinkan pelajaran
pertama dari cerita kakek.
“Lakaama, seperti kebanyakan suami, adalah kepala
rumah tangga yang penuh perhatian dan bertanggung jawab. Ia setia mendampingi
sang istri. Hanya saja ia selalu membujuk sang kekasih hatinya itu untuk
menyangkal realitas ini: lelaki dan wanita tidur seranjang, tetapi mempunyai
mimpi yang berbeda.”
“Lakaama memang bijak serentak naif”, demikian aku membatin. Tetapi, aku
belum mampu mencerna pelajaran kedua dari kekekku. “Laki-laki dan perempuan tidur seranjang, tetapi mempunyai mimpi yang
berbeda.” Dan kakekku terus melanjutkan ceritanya.
“Lakaama, seperti para pekerja keras lainnya,
adalah orang sibuk sepanjang musim. Ia berangkat ke ladangnya setiap hari. Ia
pun bekerja saat semua orang sibuk menyiapkan lahannya menjelang musim tanam. Tapi,
entah mengapa, ia selalu terlambat menanam. Ia baru menanam menjelang musim
panen. Dan kita bisa menduga, sebagian hasil kebunnya akan dimakan musim. Hujan
mengganti kemarau, atau sebaliknya kemarau mengganti musim hujan, dan tampaklah hampir semua
tanamannya perlahan menguning, layu dan mengering. Tinggal sejumput kecil yang
dapat dipanennya. Hanya saja ia terlalu tinggi hati untuk mengaku gagal atau
tak berhasil. Lantas, ia mulai merancang kecurangan untuk mengelabui
orang-orang sekampung.”
“Terlalu sulit orang menerima kegagalan dan dengan
besar hati membenahi diri daripada hidup semu dengan mengelabui orang,”
demikian aku membatin lagi. Inilah pelajaran ketiga dari kakek.
“Tapi, bagaimana caranya Lakaama mengelabui
orang?” tanyaku penasaran.
“Pagi-pagi buta, demikian lanjut kakekku, sebelum
para tetangga bangun tidur, Lakaama telah bangun lebih dahulu dan langsung
menuju kebunnya sambil membawa serta hasil panennya yang kemarin. Semuanya akan
dibawanya kembali ke rumah pada sore hari. Dan kecurangan ini dilakukannya
selama berhari-hari untuk menciptakan kesan bahwa hasil panennya begitu
melimpah, dan ia harus bersusah
payah mengangkutnya sedikit demi sedikit setiap sore. Namun, tingkah liciknya
dicium para tetangga dan mereka terusik. Mereka lalu mencari cara untuk
menghentikan aksi bohong Lakaama. Kebetulan pada jalan menuju kebun Lakaama, terdapat sebuah
jembatan. Mereka lalu melubangi jembatan
tersebut dan menutupinya lagi dengan dedaunan. Lakaama yang tak mengetahui
jebakan itu akhirnya terjerumus dan tercebur ke dalam sungai bersama
barang-barang bawaannya.”
Demikian kakekku mengakhiri ceritanya dengan akhir
yang menyingkap seluruh rahasia Lakaama. Ia cerdik sekaligus bodoh. Ia lebih
suka hidup dengan membanggakan kesemuan daripada menerima kenyataan hidupnya.
Dan ia akhirnya terjebak sendiri; menjadi bapa yang celaka.
Tetapi, sebelum aku beranjak pergi, kekekku
memberi akau pesan ini: “Tabiat
Lakaama itu adalah milik orang segala zaman; ada pada semua manusia. Ia akan
menjadi perangkap di jalan hidupmu dan mencelakakan dirimu sendiri jika terus
dibiarkan bertumbuh.