kutakkutik
Rabu, 03 Oktober 2012
Lakaama
Laka Roa
Pasir
Jumat, 28 September 2012
Waktu
Suatu pagi yang biasa…
aku terbangun dengan sepenggal mimpi; dengan sejumput kisah dari mula kembaraku di negeri bawah sadar, yang tak pernah kutahu entah kapan kan berlanjut… kecuali merindukan malam sepanjang siang.
Pagiku beranjak…
kualirkan mimpi bersama guyuran air dari tubuh
melepasnya kembali menembus rahim ketakpastian...
sebab aku, seperti kata para bijak bestari...
harus berpaling kepada Yang Pasti; Kenyataan dari segala kenyataan...
dan itulah doa...itulah waktu
Pagiku membubung...
rindu dan mimpiku menjelma kidung
terlantun bahana bersama seribu untai kata doa
dan ini, katanya, untuk kemuliaan Yang Mahaagung; Ada dari segala ada
Tapi, di sini...di antara kerubutan sejumlah penyembah takzim
Dia Yang Mahaagung menjadi serentak mahabesar dan terkecil,
mahakuat dan paling rapuh...
Ia menjelma menjadi selempeng tipis roti makanan manusia
dan aku mafhum, begitulah Sang Ada dalam waktu manusia; dalam sejarah.
Ia menjadi kecil untuk kemuliaan ciptaan, bahkan rela ‘menjadi tak ada’ untuk kehidupan yang lain...
Inilah Tuhan, inilah waktu. Ia serentak kekal dan tak kekal, ada dan tak ada.
Pagiku menerobos batas rasionalitas...
dan aku takjub serentak heran, paham serentak bingung...
lantas, kutinggalkan altar kurban itu dengan sejumlah tanya: apa itu kerinduan, apa itu mimpi, apa itu doa, apa itu penjelmaan? dan apa sesungguhnya sang waktu?
***
“Waktu adalah musuh kefanaan”, demikian bisik sekembang mawar di taman sebelah rumah doaku.
Tapi, aku cuma tertegun menyimak, mencoba menyelami rahasia sang waktu dan kehidupan.
“Lihatlah aku, wahai perenung”, pinta kembang mawar itu lagi.
“Tak ada yang bertahan dalam waktu...tak ada yang bakal seabadi sang waktu.
Bahkan, bertambahnya waktu adalah kutukan bagi keindahan,” kata kembang mawar itu lirih, sesaat sebelum membiarkan kelopak-kelopak keringnya dihempaskan angin entah ke mana.
“Tapi, kamu masih punya cinta” bisiknya lagi sebelum aku berlalu pergi.
***
Kususuri jalan setapak batu di tepi taman, melangkahi kembang kering dan dedaunan kemuning yang luruh tinggalkan batang dan ranting,
setelah semalam diterpa angin musim gugur...
dan aku teringat kata kembang mawar itu lagi, “Tak akan ada yang bertahan dalam waktu, tak akan ada yang bakal seabadi sang waktu”.
Aku berlalu dari bunga dan taman, beranjak pergi dengan satu rahasia terakhir...”cinta”.
Ya “cinta”, demikian kata kembang mawar itu.
“Meski tak akan ada yang bertahan dalam waktu, tapi kamu masih punya cinta”, katanya.
Tapi, apa maksudnya?
Kutemui sahabat-sahabatku satu demi satu, dan kucoba tanyakan arti dari rahasia ini. Namun, tak satu pun sanggup mejawabnya. Aku lalu bertanya kepada seorang penyair, dan ia memberi aku jawaban ini: “Entahkah waktu atau cinta, aku tak begitu tahu. Tapi aku tahu siapa aku. Aku tak terlahir sebagai penyair, tapi aku mencintai pekerjaan ini. Aku lalu menekuninya, dan sekarang kau dan aku temukan diriku sebagai penyair. Dan sekarang aku bertanya kepadamu anak muda, apakah kau sangka apa yang kumiliki ini adalah keniscayaan dan hadiah dari sang waktu?
Tidak! Sekali lagi kukatakan tidak! Waktu tak pernah mengubah apa pun. Hanya cinta yang bisa membuat kita berubah dalam waktu.
Dan soal keabadian...itu bukan perkara manusia. Sebab tugas manusia adalah memaknai keberadaannya.
Kembalilah dan tanyakan pada mawarmu, dan ia akan mengatakan ini: “Hal yang paling membahagiakan dalam hidupku adalah pernah menghasilkan kembang-kembang yang indah, yang semput mebuat bumi tersenyum, bukannya bisa bertahan mekar sepanjang waktu”.
***
Rabu, 24 Agustus 2011
Suara Sekarat
Oleh Amandus Klau
Suara sekarat adalah suara terindah. Demikian cerita legenda tentang seekor burung dengan suara termerdu di bumi.
Alkisah ada sejenis burung yang kicauannya lebih merdu dari bulbul dan semua burung penyanyi. Bahkan, suara burung itu katanya lebih merdu dari semua makhluk di bumi. Hanya saja ia cuma berkicau sekali seumur hidup. Dan untuk mendapatkan suaranya yang terindah itu, ia harus mengorbankan tubuh dan nyawanya. Itulah burung semak berduri, the thorn bird.
Semenjak ia bisa meninggalkan sarangnya, burung itu langsung terbang mencari pohon berduri. Ia akan terus mencari dan tidak akan beristirahat sebelum menemukannya. Dan setelah menemukannya, ia akan menghujamkan tubuhnya pada duri yang tertajam dan terpanjang pada pohon berduri itu, sebab dalam keadaan sekarat, ia akan menyanyi dengan suara sangat indah dan merdu. Ketika itu, seluruh dunia terdiam untuk mendengarkannya, dan Tuhan pun ikut tersenyum di surga..
Suara itu...suara sekarat itu... suara terakhir itu... suara menjelang kematian itu... membuat dunia terdiam dan Tuhan pun tersenyum di surga. Sebab, katanya, yang terindah hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan...dan ini takdir Yang Kuasa.
***
Kamis, 21 April 2011, kicauan sekarat itu seperti kembali terdengar di sepanjang jalan setapak-terjal menuju sebuah kapela kecil di sebuah kampung bernama Wologeru, arah selatan gereja paroki Wolotolo, Kevikepan Ende. Tapi, kicauan itu telah menjelma dalam bisikan lirih seorang lelaki. Kusebut saja namanya, Frans, seorang pemuda yang menjemputku di kampung Kuru, sesaat setelah turun dari sepeda motor ojek.
”Hujan di sini sudah lebih dari seminggu, dan kalau turun lebih lama lagi, jagung-jangung bisa bertumbuh di pohonnya. Kami tak punya waktu merebutnya dari hujan karena terlalu sibuk membangun kapela baru kami dan latihan koor untuk pesta paskah,” kata Frans.
”Tapi, kalau hujan berhenti, kera-kera yang beraksi. Mereka selalu datang bergerombol bagai tuan kebun mengundang orang-orang sekampung untuk bantu memanen jagung di kebunnya. Maka, kalau sampai dua atau tiga kali mereka masuk kebun yang sama, semua jagung bisa habis dicuri. Jadi, harap maklum kalau nanti ada orang yang terpaksa tidak hadir misa karena jaga kebun,” tambah Frans.
***
Ia masih muda, tapi cukup peka dan bijak. Itulah sosok Frans. Ia tahu kesulitan yang dialami orang-orang sekampungnya dan solusi yang telah mereka pilih tanpa harus bersepakat, apalagi berkompromi menggelar mufakat, bahwa semua anggota mau tidak mau harus membagi tugas: yang seorang menjaga kebun dan yang lain menghadiri ekaristi di kapela. Hari ini yang seorang pergi ke kebun, yang lain mengikuti perayaan ekaristi di kapela. Dan sebaliknya akan terus bergantian selama perayaan paskah. Dengan demikian, akan ada banyak orang yang tidak bisa mengikuti semua perayaan selama trihari suci.
Kenyataan ini tampak membuat seorang Frans begitu gelisah di hadapan imam yang dijemputnya. Dan karena itu, ia secara tak langsung berdiplomasi dalam nada keluh, memberi gambaran antisipatif agar imamnya tidak ”merajuk” saat melihat banyak kursi dalam kapela tak terisi.
Tapi, apakah apa yang digelisahkan Frans sungguh terjadi?
Meski hujan hampir tak pernah berhenti mengguyur sepanjang hari, tapi saat perayaan ekaristi ruangan kapela tampak selalu penuh sesak, kursi-kursi penuh terisi oleh orang-orang dewasa, sementara anak-anak terpaksa bersimpuh pasrah di lantai pada bagian depan seputar altar.
Bahkan bukan cuma itu. Lingkungan-lingkungan yang telah diberi tugas untuk menanggung koor dan liturgi sangat aktif-kompak berlatih untuk terakhir kalinya bersama imam selama berjam-jam sebelum membawakannya pada upacara sore atau malam harinya. Mereka berlatih sampai tinggal sejam atau dua jam sebelum upacara dimulai, barulah mereka kembali ke rumah untuk mandi dan makan secepatnya untuk kembali mengikuti ekaristi di kepela.
Sungguh mengagumkan merayakan pesta paskah di kampung bersama orang-orang sederhana, yang masih tulus-polos, yang tak pernah merasa berkorban, apalagi merasa rugi melayani Tuhan. Semua perayaan berjalan agung dan meriah, diiringi lagu-lagu yang dinyanyikan dengan penuh semangat dan suara yang merdu. Dan di penghujung perayaan, tampak begitu jelas helaan napas lega dan senyum bangga menghiasi bibir mereka karena semuanya berjalan lancar dan memuaskan.
Meski begitu, aku sendiri kembali gelisah mengingat legenda burung semak berduri itu. Dengan suaranya yang merdu, ia berhasil membuat Tuhan tersenyum di pintu surga. Tapi, untuk itu, ia mesti mengorbankan tubuh dan nyawanya. Legenda itu kini terasa kembali terulang, bahkan lebih nyata karena telah menjelma dalam diri sejumlah orang yang begitu dekat denganku. Kehadiran dan lantunan merdu suara mereka adalah nyanyian burung sekarat dalam legenda itu, yang sesaat lagi akan kehilangan segalanya.
Oleh kehadiran mereka yang membludak itu, aku dapat membayangkan bahwa kebun-kebun mereka sedang kosong tanpa penjaga, dan mungkin saja sejumlah kera sedang bebas beraksi menghancurkan jangung dan tanaman-tanaman lainnya. Dan kalau memang dugaanku ini benar terjadi, niscaya sebulan setelah perayaan paskah nanti mereka akan terdata sebagai keluarga-keluarga gagal panen. Lantas, apa artinya perayaan kebangkitan dan kemenangan itu bagi mereka?
Entah sadar atau tidak, kita telah merayakan paskah, perayaan kebangkitan dan kemenangan Kristus Tuhan kita atas maut dan segala pratik kejahatan di atas sejumlah persoalan pastoral yang belum tuntas teratasi. Bahkan, tanpa sadar, keagungan dan kemeriahan liturgi paskah telah menimbulkan persoalan pastoral baru. Demi perayaan paskah, sejumlah keluarga harus menerima kenyataan gagal panen, atau persoalan lainnya. Dan karena itu, model pastoral kita kini terasa perlu ditinjau kembali. Memang di hadapan Tuhan, pengorbanan kita tak berarti apa-apa, apalagi dibandingkan dengan semua berkat yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita. Namun, jangan pernah lupa, bahwa sesungguhnya Tuhan tak menginginkan korban sogokan agar kita mendapatkan surganya. Tuhan tak ingin membiarkan Gereja-Nya membunuh umat-Nya demi ketaatan pada sebuah ritus atau selebrasi apapun. Dan jika hal ini tidak disadari, niscaya krisis Gereja di dunia barat akan juga kita alami kelak. Gereja akan ditinggalkan meski Kristus tak akan mereka buang. Paradigma pastoral kita harus dirubah agar nyanyian pujian terindah itu tidak lagi keluar dari orang-orang sekarat, melainkan orang-orang hidup dan sehat-sejahtera.