Oleh Amandus Klau
“Ke pantai, kita
kembali bocah…melumuri tubuh dengan pasir, lalu tersipu setelah dibilas ombak”.
Demikian serangkai
kata yang spontan kukirimkan kepada seorang sahabatku per SMS pada suatu siang.
Dan masih
kuingat, kata-kata ini kukirimkan untuk menjawabi sebuah pertanyaan sederhana,
“lagi di mana?”
Terkesan jawabanku
tak ‘nyambung’, dan akhirnya menuai ledekan.
“Ditanya, ‘lagi
di mana’, jawabannya puisi. Dasar orang aneh!” Begitu ledek sahabatku itu.
“Maaf, ini bukan
puisi. Cuma serangkai kata yang mungkin tidak bermakna. Tapi, begitulah kalau
otak kanan sedang aktif,” jelasku.
“Heem…makin
kreatif. Saya curiga lagi berada di sebuah tempat yang sangat indah,”
komentarnya.
“Bilang saja
kalau mau menyusul”, godaku.
“Malas. Kurang kerjaan
kali!”, jawabnya singkat.
“Baik, orang
sibuk dan pekerja keras. Semoga nafasmu tidak terhenti dan darahmu tidak
membeku suatu saat nanti hanya karena kelelahan,” kataku kesal.
***
Ombak bergulung
hampir sederas tiupan angin. Makin lama makin meninggi, deras dan makin jauh
pula bergulung ke arah daratan. Air laut pasang. Dan ini menjadi momen yang
tepat bagi empat bocah: tiga lelaki dan seorang perempuan untuk unjuk kebolehan. Dua buah perahu motor kecil
yang ditambat tak begitu jauh dari daratan menjadi sasaran mereka. Keempatnya
naik ke atas buritan perahu, lalu melompat-menceburkan diri ke dalam gulungan
ombak dengan gaya terbaik mereka. Mereka melakukannya berulang-ulang. Dan
setelah merasa kelelahan, mereka keluar dari air dan merebahkan diri di atas
pasir.
“Ke pantai, kita
kembali bocah…melumuri tubuh dengan pasir, lalu tersipu setelah dibilas ombak”,
demikian aku membatin lagi.
Tapi, pada saat
yang sama, aku merasa tak sanggup mencerna makna dari kenyataan ini: entahkah
hidup ini adalah suatu keindahan yang patut dinikmati, ataukah sekadar sebuah
permainan menanti datangnya saat akhir?
Dan bahkan lebih
dari ketaksanggupan mencerna makna, kata-kata sang Pengkhotbah terasa begitu kuat merasuki pikiran dan
jiwaku.
“Kesia-siaan
belaka. Demikian kata sang Pengkhotbah. Segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah
gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? Keturunan yang
satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. Matahari
terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.
Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana
sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. Segala sesuatu menjemukan,
sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak
puas mendengar. Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat
akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”
***
Asyiknya permainan anak-anak nelayan di pesisir pantai Ipi,
rindangnya pohon waru, sepoinya angin laut, serta gerak nalar kreatifku untuk
memaknai kenyataan tersebut membuatku tak lagi peduli sudah berapa lama aku
duduk di tempat itu. Bahkan, aku sampai nyaris tergoda untuk mengakui, bahwa
inilah tempat terindah buatku, sebagaimana selalu dilitanikan seorang temanku.
“Ke laut, ke
pantai, ke panggkuan alam, kau akan temukan lagi indahnya kehidupan. Di sana,
kau akan melepas semua jenuh dan gelisahmu”, katanya.
“Tapi, tidakkah
semua akan sia-sia juga?” Demikian aku menantangnya ketika untuk pertama
kalinya ia menasihati aku dengan kata-kata itu.
“Tak ada yang
sia-sia. Segala usaha dan kerja keras kita akan berharga pada suatu saat nanti.
Segala sesuatu akan indah pada waktunya,” katanya meyakinkan.
***
Suara adzan dari
sebuah masjid, yang berada tak begitu jauh dari pintu gerbang pelabuhan Ipi
Ende, membuatku sadar kalau sudah
saatnya aku harus beranjak pergi. Dan aku pun terpaksa kembali pulang dengan
segenap gelisahku.
Betapa tidak? Ke
kota, aku akan kembali ke keseharianku yang banal, ke kesibukanku yang menjenuhkan.
Bahkan, bukan cuma aku, tapi semua warga kota.
Anak-anak
sekolah, misalnya, bergegas ke sekolah atau ke kampus setiap pagi dengan penuh
semangat. Terkesan ada harapan dan idealisme yang ingin mereka gapai. Namun,
itu hanya sebuah alasan semu. Sebab, yang mereka kejar adalah selembar kertas
ijazah, yang dapat memudahkan mereka untuk diterima di sebuah tempat kerja
tertentu. Di sana, mereka akan mengerjakan apa yang diperintahkan atau
ditugaskan untuk dikerjakan. Tak kurang, tak lebih. Jika kurang, gaji dipotong,
dan jika lebih dituding bodoh, sebab tak akan ada bayaran atau penghargaan
khusus untuk itu. Lalu, di mana idealisme? Jawabannya tak ada. Bahkan, ada yang
menjawab tak pernah tahu. Idealisme itu tak ada. Apalagi yang namanya
aktualisasi diri. Yang ada dan yang diketahui cuma sejumput uang untuk
menafkahi hidup: membeli makanan dan minuman, pakaian, membangun rumah, dan
kalau ada sedikit sisa, tentu membeli kendaraan untuk memperlancar segala
aktivitasnya. Sesudah itu…selesai. Tinggal menanti saat kematian. Hidup lalu
terkesan sangat simple. Padahal, Tuhan memberi kita kemampuan untuk berbuat
lebih dari sekadar mempertahankan hidup.
Tuhan memberi kehidupan yang lebih berarti dari segala yang kita miliki. Semua itu ibarat pasir
yang sesaat melekat di tubuh kita, lalu akan hilang disapu air atau apa saja.
Jika demikian,
mengapa orang mesti melecehkan hidupnya, misalnya dengan menilep atau
menyelewengkan uang yang bukan miliknya? Mengapa orang harus saling bermusuhan
demi jabatan? Dan akhirnya, mengapa orang mesti membunuh diri kalau kekurangan salah satu kebutuhannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar