Rabu, 03 Oktober 2012

Lakaama



Oleh Amandus Klau
Lakaama adalah seorang lelaki, yang pernah hidup pada semua masa,
juga pada semua tempat…
yang pernah ada dan tak ada,
yang pernah binasa serentak mengabadi …
yang dapat dipahami sekaligus tidak.
Tapi, ia seorang anak manusia…
dan begitulah ia adanya…
nyata sekaligus  misterius
kuat sekaligus lemah
bijak sekaligus dungu
dan tak seorang pun sungguh mengenalnya, termasuk dirinya sendiri.
***
Aku sendiri pertama kali mengenalnya dari sebuah cerita musim hujan…
Cerita pelepas rasa bosan dari sang kakek, saat ia tak bisa meladang.
Cerita dari suatu masa sulit, saat alam membuat kekekku hanya bisa menjadi seorang pendongeng.
***
“Lakaama, seorang lelaki paruh baya”, begitu kakekku memulai ceritanya. “Dan seperti para lelaki kebanyakan, ia adalah suami dari seorang istri; Lakaina, dan ayah dari beberapa orang anak. Aku tak tahu persis berapa jumlah anaknya. Tapi, sudah pasti ada yang bernama Laka”, lanjut kakekku.
“Sebab, anak-anak adalah turunan orangtua dan akan mewarisi segala sesuatu dari orangtua, termasuk nama”, kata kekekku lagi.
“Aku dan namaku adalah warisan orangtua”. Demikian aku mencoba membatinkan pelajaran pertama dari cerita kakek.
“Lakaama, seperti kebanyakan suami, adalah kepala rumah tangga yang penuh perhatian dan bertanggung jawab. Ia setia mendampingi sang istri. Hanya saja ia selalu membujuk sang kekasih hatinya itu untuk menyangkal realitas ini: lelaki dan wanita tidur seranjang, tetapi mempunyai mimpi yang berbeda.”
“Lakaama memang bijak serentak naif”, demikian aku membatin. Tetapi, aku belum mampu mencerna pelajaran kedua dari kekekku. “Laki-laki dan perempuan tidur seranjang, tetapi mempunyai mimpi yang berbeda.” Dan kakekku terus melanjutkan ceritanya.  
“Lakaama, seperti para pekerja keras lainnya, adalah orang sibuk sepanjang musim. Ia berangkat ke ladangnya setiap hari. Ia pun bekerja saat semua orang sibuk menyiapkan lahannya menjelang musim tanam. Tapi, entah mengapa, ia selalu terlambat menanam. Ia baru menanam menjelang musim panen. Dan kita bisa menduga, sebagian hasil kebunnya akan dimakan musim. Hujan mengganti kemarau, atau sebaliknya kemarau mengganti musim hujan, dan tampaklah hampir semua tanamannya perlahan menguning, layu dan mengering. Tinggal sejumput kecil yang dapat dipanennya. Hanya saja ia terlalu tinggi hati untuk mengaku gagal atau tak berhasil. Lantas, ia mulai merancang kecurangan untuk mengelabui orang-orang sekampung.”
“Terlalu sulit orang menerima kegagalan dan dengan besar hati membenahi diri daripada hidup semu dengan mengelabui orang,” demikian aku membatin lagi. Inilah pelajaran ketiga dari kakek.
“Tapi, bagaimana caranya Lakaama mengelabui orang?” tanyaku penasaran.
“Pagi-pagi buta, demikian lanjut kakekku, sebelum para tetangga bangun tidur, Lakaama telah bangun lebih dahulu dan langsung menuju kebunnya sambil membawa serta hasil panennya yang kemarin. Semuanya akan dibawanya kembali ke rumah pada sore hari. Dan kecurangan ini dilakukannya selama berhari-hari untuk menciptakan kesan bahwa hasil panennya begitu melimpah, dan ia harus bersusah payah mengangkutnya sedikit demi sedikit setiap sore. Namun, tingkah liciknya dicium para tetangga dan mereka terusik. Mereka lalu mencari cara untuk menghentikan aksi bohong Lakaama. Kebetulan pada  jalan menuju kebun Lakaama, terdapat sebuah jembatan. Mereka lalu  melubangi jembatan tersebut dan menutupinya lagi dengan dedaunan. Lakaama yang tak mengetahui jebakan itu akhirnya terjerumus dan tercebur ke dalam sungai bersama barang-barang bawaannya.”
Demikian kakekku mengakhiri ceritanya dengan akhir yang menyingkap seluruh rahasia Lakaama. Ia cerdik sekaligus bodoh. Ia lebih suka hidup dengan membanggakan kesemuan daripada menerima kenyataan hidupnya. Dan ia akhirnya terjebak sendiri; menjadi bapa yang celaka. 
Tetapi, sebelum aku beranjak pergi, kekekku memberi akau pesan ini: “Tabiat Lakaama itu adalah milik orang segala zaman; ada pada semua manusia. Ia akan menjadi perangkap di jalan hidupmu dan mencelakakan dirimu sendiri jika terus dibiarkan bertumbuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar