Rabu, 03 Oktober 2012

Laka Roa



Oleh Amandus Klau

“Angin dan ombak lautan, begitu katamu, tak lagi ramah-bersahabat seperti hari-hari kemarin…dan kau mengadu kepada leluhur dan penguasa semesta, kau antarkan doa dan sesajen, berharap ia mereda murka…hanya saja tidak coba kau tanya, entahkah dia pernah kau lukai…”

Demikian serangkai kata yang pantas didaraskan buat Laka Roa, seorang nelayan sederhana di pinggiran pantai Nangadhero, Kabupaten Nagekeo.
***
Laka Roa, suatu siang di awal bulan Februari, ditemukan terpekur dalam gelisah yang amat mendalam. Betapa tidak? Di hadapan tuntutan kebutuhan hidup yang terus bertambah dan mendesak, ia kehilangan pekerjaan. Ia hanya bisa menganggur dan tak dapat melaut karena ombak launtan terus mengamuk-ganas. Atau, kalaupun ombak dan angin sejenak reda dan ia bisa melaut, ia hanya bisa mendapat sangat sedikit tangkapan, bahkan kadang ia pulang kosong. 

“Saya hanya bisa mendapat sangat sedikit ikan saat melaut, bahkan kadang tidak mendapat sama sekali. Hal ini disebabkan oleh gelombang dan angin yang masih melanda laut pantai utara, terutama wilayah Nangadhero sampai Marapokot. Biasanya, saya bisa dapat Rp500.000 sampai Rp700.000 dari hasil tangkapan saya sehari. Tetapi, sekarang, hanya sekitar Rp50.000 sampai Rp.100.000. Itupun kalau mujur, karena kadang pulang kosong,” keluh Laka Roa. Dan kondisi seperti ini ternyata sudah berlangsung lama. 

Wartawan Harian Umum Flores Pos Wim de Rozari menulis: “Sudah hampir 5 bulan, para nelayan di wilayah Nangadhero dan Marapokot sulit mendapatkan ikan saat melaut. Kondisi ini, katanya, benar-benar terbalik dari tahun-tahun sebelumnya, di mana hasil tangkapan mereka pada akhir hingga awal tahun biasanya berlimpah”, (FP, 14 Februari 2012).

Lantas, dengan hati gelisah, Laka Roa dan sejumlah rekan nelayan lainnya hanya bisa bertanya-tanya, “Kapan angin dan ombak kembali reda, dan kalau tak lagi ada hantaman angin dan ombak, akankah hasil  tangkapan kembali melimpah seperti tahun kemarin?”
Sebuah pertanyaan yang tak akan pernah mudah terjawab; ungkapan kegelisahan yang akan sangat sulit ditentramkan. Sebab, bagai merindu hunian megah-nyaman di atas sisa-sisa puing reruntuhan sebuah bangunan, begitulah nasib Laka Roa dan rekan-rekannya kini. Segelintir nelayan, entah dengan sengaja atau tidak, sadar atau tidak sadar, telah meruntuh-rusakkan semua yang mereka rindukan. Mereka melaut dengan cara yang tak pantas, yakni menggunakan bom dan menebar racun potassium. Namun, anehnya, bukan kehancuran ini yang dituding Laka Roa sebagai ‘raksasa’ penghadang pencapaian keberuntungngan mereka, melainkan angin dan ombak, yang sebenarnya sudah menjadi sahabat karib setiap pelaut.

Dan, selain Laka Roa, segenap rekan nelayan dan seluruh warga kampung pun demikian. Mereka tidak melihat akar persoalan yang sebenarnya. Lantas, mereka secara naif mencari dan menetapkan hal lain sebagai penyebabnya. 

“Di balik ombak dan angin, ada kemarahan roh nenek moyang atau para makhluk supra human yang menjaga dunia lautan.” Demikian dugaan dan keyakinan mereka. Alhasil, ritual adat pun diselenggarakan dengan maksud agar hasil tangkapan kembali berlimpah seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, diselenggarakan secara besar-besaran dengan menghadirkan pemerintah daerah. Namun, peristiwa ini berisiko multitafsir. 

Dari perspektif sosial – budaya, misalnya, dukungan dan kehadiran langsung pemerintah daerah dalam peristiwa ini dapat dipandang sebagai salah satu upaya pelestarian kebudayaan daerah, teristimewa pemberdayaan kearifan-kearifan lokal sebagai salah satu strategi penyelesaian sejumlah masalah yang dihadapi masyarakat. 

Namun, dari sudut pandang lain, keterlibatan pihak pemerintah yang nota bene merupakan kumpulan kaum intelektual, dapat dinilai sebagai keterjebakan ke dalam sebuah cara pikir berbasis kesadaran mitis magis. Sebuah tingkat kesadaran, yang menurut klasifikasi sang filsuf dan pedagog Paulo Freire, menempati tangga kesadaran terendah manusia. Dan penilaian seperti ini dibenarkan oleh pengabaian terhadap problem penangkapan ikan dengan cara membom atau menebar racun potassium. Sebab, justru kedua cara inilah yang membuat laut akhirnya terasa seperti tak lagi bersahabat dengan para nelayan. 

Karena itu, solusi pertama yang mesti ditempuh untuk mengatasi masalah Laka Roa dan rekan-rekannya adalah pengetatan pangamanan laut, sosialisasi yang terus menerus, sekaligus ritual adat yang dapat menyadarkan, serentak mengikat setiap nelayan untuk tidak beraksi sesukanya di laut; bukan sekadar sebagai rekonsiliasi dengan leluhur dan para penjaga laut. Sebab, sepanjang aksi pemboman dan penebaran racun terus dilaksanakan, niscaya seribu kali penyelenggaraan ritual adat tak akan pernah mengubah keadaan. Populasi ikan di laut tak akan pernah bertambah kalau kedua praktik ini tidak dihentikan. 

Dengan demikian, Laka Roa tak seharusnya menggelisahkan angin dan ombak lautan, pun pula merasa dibuang alam lautan yang telah bertahun-tahun menghidupkan diri dan keluarganya. Tetapi, ia mesti lebih mencemaskan aksi egoistik dan tak berperi kehidupan yang dilakukan oleh segelintir nelayan tak bertanggung jawab. Sadarilah masalah pemboman dan penebaran potassium sebagai masalah utama, bukan sekadar terjabak dalam kesadaran mitis magis. Memang, kearifan-kearifan lokal dapat menyumbangkan sejumlah solusi bagi penyelesaian sejumlah masalah kehidupan kita, namun hal itu perlu diimbangi dengan suatu kesadaran kritis. Sebab, antara kepercayaan, keberimanan, dan cara berpikir mitis magis manusia cuma disekat sebuah selaput tipis. 

Jangan lagi kau lukai lautan, kalau tak ingin ia mencekikmu suatu saat nanti…”.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar