Oleh Amandus Klau
“Angin dan
ombak lautan, begitu katamu, tak lagi ramah-bersahabat seperti hari-hari kemarin…dan kau mengadu
kepada leluhur dan penguasa semesta, kau antarkan doa dan sesajen, berharap ia
mereda murka…hanya saja tidak coba kau tanya, entahkah dia pernah kau lukai…”
Demikian serangkai kata yang pantas didaraskan buat Laka
Roa, seorang nelayan sederhana di pinggiran pantai Nangadhero, Kabupaten
Nagekeo.
***
Laka Roa, suatu siang di awal bulan Februari, ditemukan
terpekur dalam gelisah yang amat mendalam. Betapa tidak? Di hadapan tuntutan kebutuhan
hidup yang terus bertambah dan mendesak, ia kehilangan pekerjaan. Ia hanya bisa
menganggur dan tak dapat melaut karena ombak launtan terus mengamuk-ganas.
Atau, kalaupun ombak dan angin sejenak reda dan ia bisa melaut, ia hanya bisa
mendapat sangat sedikit tangkapan, bahkan kadang ia pulang kosong.
“Saya hanya bisa mendapat sangat sedikit ikan saat
melaut, bahkan kadang tidak mendapat sama sekali. Hal ini disebabkan oleh
gelombang dan angin yang masih melanda laut pantai utara, terutama wilayah
Nangadhero sampai Marapokot. Biasanya, saya bisa dapat Rp500.000 sampai
Rp700.000 dari hasil tangkapan saya sehari. Tetapi, sekarang, hanya sekitar
Rp50.000 sampai Rp.100.000. Itupun kalau mujur, karena kadang pulang kosong,”
keluh Laka Roa. Dan kondisi seperti ini ternyata sudah berlangsung lama.
Wartawan Harian Umum Flores Pos Wim de Rozari menulis:
“Sudah hampir 5 bulan, para nelayan di wilayah Nangadhero dan Marapokot sulit
mendapatkan ikan saat melaut. Kondisi ini, katanya, benar-benar terbalik dari
tahun-tahun sebelumnya, di mana hasil tangkapan mereka pada akhir hingga awal
tahun biasanya berlimpah”, (FP, 14 Februari 2012).
Lantas, dengan hati gelisah, Laka Roa dan sejumlah rekan
nelayan lainnya hanya bisa bertanya-tanya, “Kapan angin dan ombak kembali reda,
dan kalau tak lagi ada hantaman angin dan ombak, akankah hasil tangkapan kembali melimpah seperti tahun
kemarin?”
Sebuah pertanyaan yang tak akan pernah mudah terjawab; ungkapan
kegelisahan yang akan sangat sulit ditentramkan. Sebab, bagai merindu hunian megah-nyaman di
atas sisa-sisa puing reruntuhan sebuah bangunan, begitulah nasib Laka Roa dan
rekan-rekannya kini. Segelintir nelayan, entah dengan sengaja atau tidak, sadar
atau tidak sadar, telah meruntuh-rusakkan semua yang mereka rindukan. Mereka
melaut dengan cara yang tak pantas, yakni menggunakan bom dan menebar racun
potassium. Namun, anehnya, bukan kehancuran ini yang dituding Laka
Roa sebagai ‘raksasa’ penghadang pencapaian keberuntungngan mereka, melainkan
angin dan ombak, yang sebenarnya sudah menjadi sahabat karib setiap pelaut.
Dan, selain Laka Roa, segenap rekan nelayan dan seluruh
warga kampung pun demikian. Mereka tidak melihat akar persoalan yang
sebenarnya. Lantas, mereka secara naif mencari dan menetapkan hal lain sebagai
penyebabnya.
“Di balik ombak dan angin, ada kemarahan roh nenek moyang
atau para makhluk supra human yang menjaga dunia lautan.” Demikian dugaan dan
keyakinan mereka. Alhasil, ritual adat pun diselenggarakan dengan maksud agar
hasil tangkapan kembali berlimpah seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan,
diselenggarakan secara besar-besaran dengan menghadirkan pemerintah daerah.
Namun, peristiwa ini berisiko multitafsir.
Dari perspektif sosial – budaya, misalnya, dukungan dan
kehadiran langsung pemerintah daerah dalam peristiwa ini dapat dipandang
sebagai salah satu upaya pelestarian kebudayaan daerah, teristimewa
pemberdayaan kearifan-kearifan lokal sebagai salah satu strategi penyelesaian
sejumlah masalah yang dihadapi masyarakat.
Namun, dari sudut pandang lain, keterlibatan pihak
pemerintah yang nota bene merupakan kumpulan kaum intelektual, dapat dinilai
sebagai keterjebakan ke dalam sebuah cara pikir berbasis kesadaran mitis magis.
Sebuah tingkat kesadaran, yang menurut klasifikasi sang filsuf dan pedagog
Paulo Freire, menempati tangga kesadaran terendah manusia. Dan penilaian
seperti ini dibenarkan oleh pengabaian terhadap problem penangkapan ikan dengan
cara membom atau menebar racun potassium. Sebab, justru kedua cara inilah yang
membuat laut akhirnya terasa seperti tak lagi bersahabat dengan para nelayan.
Karena itu, solusi pertama yang mesti ditempuh untuk
mengatasi masalah Laka Roa dan rekan-rekannya adalah pengetatan pangamanan
laut, sosialisasi yang terus menerus, sekaligus ritual adat yang dapat
menyadarkan, serentak mengikat setiap nelayan untuk tidak beraksi sesukanya di
laut; bukan sekadar sebagai rekonsiliasi dengan leluhur dan para penjaga laut.
Sebab, sepanjang aksi pemboman dan penebaran racun terus dilaksanakan, niscaya
seribu kali penyelenggaraan ritual adat tak akan pernah mengubah keadaan.
Populasi ikan di laut tak akan pernah bertambah kalau kedua praktik ini tidak
dihentikan.
Dengan demikian, Laka Roa tak seharusnya menggelisahkan
angin dan ombak lautan, pun pula merasa dibuang alam lautan yang telah
bertahun-tahun menghidupkan diri dan keluarganya. Tetapi, ia mesti lebih
mencemaskan aksi egoistik dan tak berperi kehidupan yang dilakukan oleh
segelintir nelayan tak bertanggung jawab. Sadarilah masalah pemboman
dan penebaran potassium sebagai masalah utama, bukan sekadar terjabak dalam
kesadaran mitis magis. Memang, kearifan-kearifan lokal dapat menyumbangkan
sejumlah solusi bagi penyelesaian sejumlah masalah kehidupan kita, namun hal
itu perlu diimbangi dengan suatu kesadaran kritis. Sebab, antara kepercayaan,
keberimanan, dan cara berpikir mitis magis manusia cuma disekat sebuah selaput
tipis.
“Jangan
lagi kau lukai lautan, kalau tak ingin ia mencekikmu suatu saat nanti…”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar